Malam ini, saya mau cerita sebuah cerita nyata yang pernah di ceritakan oleh salah satu teman saya waktu SMP.
Sebuah cerita yang membuat bulukuduk saya selalu merinding tiap mendengar detail dari sebuah peristiwa yang lebih dari sebuah terror!!
Sebuah cerita yang akan membuat saya berpikir ulang dari apa arti sebuah kematian yang sebenarnya. Sebuah cerita tentang sebuah keluarga yang terikat dengan sebuah takdir yang akan membawa mereka dalam satu bencana yang di sebut “SIREP DUNYOTO” (Hidup namun Mati)
Disini saya akan menceritakan semuanya dari sudut pandang Andi, teman SMP saya yang pernah menjadi saksi peristiwa ini. Berlatarkan tahun awal 2000’an cerita ini terjadi di sebuah kabupaten di jawa timur, yang gak bisa saya katakan dimana tempatnya berada.
Dan disinilah semuanya kita mulai.
***
“Ndi, ki omahe sopo to? Gede bener” (Ndi, ini rumahnya siapa? Kok besar sekali) Tanya teman saya, Randu.
Seperti biasa, setiap minggu pagi adalah waktu yang tepat bagi saya untuk bersepeda keliling kampung, dan pagi ini menjadi lebih special ketika teman baik saya di SMP, Randu dan Riven, datang jauh dari kota untuk bisa berlibur dan menginap di kampung saya.
sebenarnya, alasan teman saya menginap bukan untuk sekedar menginap dan mengenal rumah dan kampung saya, namun untuk melihat saksi bisu dari peristiwa yang tempo hari saya ceritain ke mereka, sebuah cerita yang akan berhubungan dengan rumah besar di depan saya ini.
“iki omahe sing tak ceritak’ne wingi” (ini rumah yang aku ceritakan kemarin) kata saya, sembari menatap jauh jendela-jendela serta pintu yang sudah rusak tergerus jaman. Peristiwa ini sendiri sudah terjadi sekitar 4 tahun yang lalu dan sampai saat ini, rumah ini tak terurus,
seolah menyimpan semua kengerian itu sendiri, di atas tanah ini.
saya sendiri selalu merinding tiap melewati jalanan ini, terlebih bila melihat rumah besar ini, dengan pagar berkaratnya, rumput liar di halamanya, dan terlebih setiap melihat ke jendela-jendela yang kacanya sudah
pecah disana-sini, saya merasa, di dalamnya, seperti ada yang sedang mengamati saya darisana. Apapun itu, saya merinding.
“oh iki ta. Oleh melbu ora iki?” (oh ini ta. Boleh masuk gak nih?)
“Haa” saya menatap Randu yang baru aja turun dari sepedanya, sementara Riven masih menimbang apakah dia mau senekat itu, apalagi bila tau sejarah rumah ini.
Suara berderit dari pagar besi yang berkarat terbuka, ketika Randu sudah masuk dan memasuki halaman rumah yang di penuhi
rumput liar dengan tumbuhan putri malu disana-sini dimana durinya harus di hindari.
Seolah saya tau kelakuan teman saya Randu yang memang sudah penasaran sejak awal saya ceritain cerita ini maka saya pun terpaksa mengikuti, Riven pun mau tak mau juga harus ikut.
Setelah susah payah, melewati semak belukar dan rerumputan yang tingginya hampir sedengkul akhirnya kami sampai di teras rumahnya, keramiknya masih tampak bagus meski di penuhi debu dan dedaunan yang entah tertiup angin dari pohon yang mana di sekitar sini.
“isok di buka gak iki” (bisa di buka gak ini?) kata Randu
“ojok” (jangan) kata saya khawatir, saya udah buat perjanjian sebelumnya bahwa kami seharusnya hanya melihat dari pagar luar rumah, namun realitanya malah kita masuk sampai di teras
Dasar Randu kebangetan, dia malah memutari
rumah dan bergerak pergi ke pintu belakang. Mau tak mau saya dan Riven mengikuti.
Di samping Rumah ada tanah lapang yang juga di penuhi rerumputan liar, banyak pohon disana, mulai dari mangga hingga rambutan, di balik langkah kaki kami, saya terpaku menatap jendela-jendela yang
berjejer di sisi rumah, berharap gak mendapatkan pemandangan yang tidak di inginkan.
Syukurlah, kami sampai di pintu belakang, dengan pemandangan yang gak kalah tak karuan seperti teras depan, bau amis dan pesing tercium disana-sini, beberapa kali saya menahan penciuman hidung saya,
di lain hal, Riven hanya diam memandang kesana-kemari, nyalinya menciut manakala dia melihat kearah ayunan besi yang gak kalah berkarat di bandingkan pagar rumah depan.
“Iku ta ayunan sing mok ceritak’ke” (itu kah ayunan yang kamu ceritakan itu)
Randu pun menatap ayunan itu, kami bertiga tampak tegang, karena saya pernah mendengar bahwa setiap malam hari, ayunan itu selalu berayun sendiri, meninggalkan suara berdencit dari besi yang sudah lama
tidak di lumasi, namun hari ini, tampaknya semua baik-baik saja. Toh, itu hanya cerita dari warga kampung.
Randu yang pertama mencoba membuka pintu, sesaat, saya di buat mengangah, karena pintu belakang tampak terbuka lebar di depan kami.
“isok di buka loh” (bisa di buka loh rupanya) kata Randu, yang entah begitu antusias. “melbu yok” (masuk yok)
saya berpikir, mungkin benar kata beberapa pemuda kampung saya, banyak yang bilang , semenjak kosong, rumah ini di gunakan untuk anak-anak nakal menenggak miras namun gak
sedikit dari sana muncul cerita-cerita bahwa terkadang ada penghuni tak kasat mata yang tinggal di dalam rumah ini.
saya terdiam lama, sampai Randu menarik tangan saya, sementara Riven, mulai berjalan mengikuti.
dari rumah kebanyakan, mungkin karena sudah lama tidak berpenghuni. Pikir saya Hal yang pertama saya rasain saat melihat bagian dalam rumah adalah, dingin. Hawanya benar-benar berbeda.
Randu yang memimpin. saya melihat di tembok kiri kanan, penuh dengan coretan vandalisme, kadang saya miris melihatnya, namun bila saya lihat lagi coretan-coretan itu, saya rasa ini berhubungan dengan cerita masalalu rumah ini, terlebih saat saya tertuju pada sebuah kalimat yang membekukan
tubuh saya, tulisan itu di coret dengan cat warna merah besar, sebuah tulisan yang akan membuat siapapun yang masuk tertuju membacanya.
“KELUARGA IBLIS!!”
Gelap, pesing, dan dingin. Semuanya begitu terasa, terlebih saat kita masuk lebih dalam lagi ke rumah itu.
“ojok adoh-adoh rek” (jangan jauh-jauh teman) kata Riven, saya baru sadar, kalau sedari tadi Riven tampak tertarik, begitu bertentangan dengan nyalinya yang gak seberapa.
Randu, masih menelusuri rumah itu, sangat-sangat antusias, dia melihat kesana-kemari dan itu menganggu saya. Sangat menganggu. Sepertinya saya tau apa yang dia coba cari.
Rupanya dia sudah menemukanya. Sebuah tangga ke lantai 2 rumah ini. “Ayok goleki kamar’e sa’Diah” (ayo cari kamarnya mbak Diah)
saya merinding tiba-tiba ketika Randu menyebut nama itu. Seolah ada angin dingin berhembus di belakang saya.
“huss. Ojok ngomong ngawur koen yo” (huus. Jangan ngomong sembarangan kamu ya) kata saya menekan.
Randu tampak paham ucapan saya, dia menyesal namun tak beberapa lama dia kembali menjadi Randu yang super penasaran. Akhirnya kami naik ke lantai 2.
Di lantai 2, kondisinya tidak banyak berubah dari lantai 1. Perabotan rusak disana-sini dan semakin banyak tulisan yang tidak mengenakan ketika di baca, Randu masih menelsuri kamar per kamar, membuat saya tau darimana- saja pemandangan jendela ini tertuju kearah luar. Ketika asyik
melihat-lihat bagian kamar per kamar, saya berhenti di salah satu kamar, sebuah kamar yang gak asing di mata saya.
saya mendekati jendela dan langsung bisa melihat pemandangan di luar, ada sepeda kami bertiga, terparkir di depan gerbang besi itu. Sontak, otak saya memutar ulang semua pengalaman saya selama ini, ketika melewati rumah ini. Kamar ini, adalah kamar dimana saya pernah melihat sosok yang
seperti berwujud namun menatap sembunyi-sembunyi di balik jendela.
Seketika itu juga, leher saya merasakannya, kamar ini, suasananya lain dari kamar lain, dan ketika saya berbalik mau meninggalkan kamar ini, saya terkejut dengan kehadiran Riven yang menatap saya tampak tenang.
“iki kamar’e Sa’Diah” (ini kamarnya kak Diah kayanya)
saya menatap Riven, menyipitkan mata, seolah mendengar ucapan menduga-duga namun membuat saya seolah setuju dengan ucapanya.
“keroso gak?” (berasa gak) kata Riven, tanganya menyentuh dinding kamar.
“keroso opo?” (berasa apa?)
“arek’e jek gok kene loh”(anaknya masih tinggal disini loh)
Di tengah perbincangan saya sama Riven, saya merasa perasaan saya semakin gak nyaman, pembahasan ini membuat saya di buat semakin takut dan parahnya, yang membuat saya lebih takut adalah, bagaimana orang yang bahkan gak tau seluk
beluk tempat ini justru seakan-akan lebih tau dari saya yang tinggal di lingkungan ini.
Lamunan saya buyar, waktu saya denger suara langkah kaki berlari, sangat keras dan di ikuti suara Randu berteriak. Sontak saya ikut lari, dan mencari tau apa yang terjadi.
Bertemulah saya dengan Randu, yang tengah menuruni anak tangga, berlari dengan wajah panik sekali.
“lapo tah” (kenapa?)
“wes ayok metu sek, gak aman tempat iki” (sudah ayo keluar lagi, tempat ini gak aman)
Kami berdua berlari, keluar dari pintu belakang, menyusuri rumput liar halaman rumah dan akhirnya keluar dari pagar, disana, saya terdiam saat melihat Riven sudah berdiri disana, menunggu di atas sepeda.
“asu, mosok aku di tinggal ijen nang kene” (anjing, masa aku di tinggal
sendirian disini)
saya tertegun mendengar ucapan Riven untuk sementara, sebelum saya melihat Rumah itu lagi dari jauh. “lapo koen mlayu koyok ngunu” kata saya berusaha mengalihkan perhatian menatap Randu.
“gok kamar pojok, gok kamar pojok, dancok!! Onok jelangkung’e “ (di kamar paling ujung-di kamar paling ujung, ada yang baru saja bermain jelangkung)
Pagi itu, kami meninggalkan rumah itu, dengan berbagai teka-teki. Di mulai dari sosok yang menyerupai Riven, sampai jelangkung di
kamar ujung, apapun itu, sekarang saya tau, dimana kamar sa’Diah berada.
Gadis yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Karena tidak sanggup lagi, menanggung beban dari perjanjian keluarganya dengan Iblis yang kabarnya, masih ada di atas tanah ini.
Mulai dari sini. Kita masuk ke peristiwa 4 tahun yang lalu, dimana semua ini, bermula..
Diah Muninggar, nama itu tidak akan pernah di lupakan di kampung ini. bukan, bukan karena ia seseorang yang berprestasi, melainkan karena kematianya yang di anggap ganjil oleh warga, bahkan kematianya sendiri masih di anggap menyisahkan misteri hingga saat ini.
lahir di keluarga yang sederhana, membuat Diah di kenal sebagai gadis ayu kembang desa yang selalu mendapat puja puji disana-sini, namun, malam itu. ketika bulan tak menampakkan diri, ketika suara serangga malam sunyi tak berpelik, terlihat dari jauh, siluet seseorang,
dari bawah Rumah gedong yang di sebut warga sebagai rumah terbesar di kampung ini, yang entah bagaimana keluarga Dia yang awalnya bukanlah keluarga kaya raya, di sulap hanya dalam beberapa bulan menjad sebuah keluarga terkaya dan termasyur
meski menyimpan tanda tanya besar, namun, semua warga tau. ada yang ganjil dari keluarga ini. kita lupakan sejenak keluarga ini, di depan rumah, Pak Mito lah yang pertama melihat siluet bayangan di kamar atas, tampak sedang melayang, berayun pelan namun tetap terlihat jelas
sontak pak Mito membangunkan seisi rumah, dan di lihatlah siluet itu di dalam kamar, malam itu, adalah malam dimana, tubuh Diah atau gadis yang kerap di panggil dengan nama sa'Diah, tergantung dengan kepala di jerat tali tambang.
sontak, semuanya kaget tak terkecuali, pak Wanto
pak Wanto adalah ayah sekaligus orang yang kini menarik perhatian warga kampung. apa yang sebenarnya di sembunyikan oleh pak Wanto.
namun, malam itu cukup membuat semua yang menyaksikan bertanya-tanya, kenapa postur sa'Diah yang tergantung, menunjukkan ekspresi tak biasa
ekspresi, seseorang yang tengah tersenyum bahagia.
satu hal yang di ingat oleh semua orang yang menyaksikan peristiwa itu, kematian sa'Diah adalah kematian yang berhubungan dengan keluarga ini. sesuatu yang di percaya, berhubungan dengan "bisikan IBLIS"
kita akan kembali, ke waktu yang jauh ke belakang, manakala cerita ini semua bermula. bukan 4 tahun, melainkan lebih jauh lagi.. saat sa'Diah hanyalah gadis polos yang tidak tahu apapun tentang apa yang akan menimpa keluarganya.
pak Wanto adalah seorang buruh tani yang menggarap sawah milik seseorang bersama bu Robiah isterinya, meski umur mereka tidak lagi muda namun mereka hidup berkecukupan.
di karuniai 4 orang anak, yang kesemuanya adalah seorang perempuan.
Diah, Yuni, Rina, dan Uswatun adalah anak-anak pak Wanto.
layaknya anak-anak lain, di usia mereka yang saat ini masih tergolong masih sangat muda, mereka bermain dan bersekolah sewajarnya, hanya saja, terkadang mereka membantu pak Wanto dan bu Robiah di sawah.
si Sulung lah yang paling di kenal warga, karena kebiasaanya pula memanggil pak Wanto dan bu Robiah, bapak emak, membuat warga pun ikut-ikutan memanggil Bapak -Emak,
hidup keluarga pak Wanto baik-baik saja layaknya kehidupan tentram pada umumnya di desa, namun,
semuanya berubah ketika bu Robiah yang kerap di sapa Emak, mengatakan bahwa beliau hamil tua, yang konon, menurut orang jawa jaman dahulu, hamil tua adalah pertanda yang kurang baik.
meski begitu, tidak percaya dengan mitos, pak Wanto dan sekeluarga, menyambut hangat calon anak
sampai, di kehamilanya yang ke 5 bulan, pak Wanto bermimpi di datangi seekor kambing betina hitam, yang konon, kambing ini dapat berbicara dan menyapa pak Wanto. hal itu terjadi selama 7 hari berturut-turut.
tidak yakin dengan mimpinya, pak Wanto tidak bercerita hal ini kepada siapapun, meski ia masih kerap terbayang sosok yang ia temui dalam mimpi.
entah itu kambing atau binatang lain, yang pak Wanto ingat, suaranya tidak seperti suara manusia normal, sangat halus dan memikat
di malam kedua, mimpi itu kembali, dan kambing hitam itu juga kembali lagi.
kali ini, ada yang berbeda dari mimpi sebelumnya, badan si kambing tampak membesar, seolah-olah ia sedang mengandung.
namun, malam itu, ia hanya mendengar satu kalimat.
"Jati Apit"
tidak ada yang tahu apa itu Jati apit, termasuk pak Wanto yang sebegitu penasaranya sampai menuliskanya dalam selembar kertas.
setelah menjalani hari-harinya seperti biasa, ketika pulang, pak Wanto tertuju pada lahan samping sawah, disana, berjejer pohon jati
entah apa yang membuat pak Wanto yang tiba-tiba penasaran dan mendekati lahan itu.
rupanya, ia mengerti maksud kalimat itu.
Jati apit merujuk pada pohon Jati, maka di lihat-lihatlah sore itu, pak Wanto berkeliling lahan Jati, sampai ia melihatnya.
pak Wanto melihat sebuah pohon, tidak terlalu tinggi, mungkin se;dadanya, dan pohon itu tumbuh, di antara 2 pohon Jati yang tumbuh meliuk, sangat aneh. pikir pak Wanto.
pohon Jati tumbuh tidak meliuk seperti itu, pohon jati harusnya tumbuh lurus ke atas.
bergegaslah pak Wanto
manakala ketika ia mendekati pohon itu. tercium aroma bau kambing yang sengak, maka, pak Wanto mengelilingi pohon kecil itu, di dalamnya, pak Wanto menemukan sesuatu.
kecil, berlendir dan menggeliat. rupanya, ada seekor anak kambing di dalam rimbunan pohon itu.
petang itu, pak Wanto kembali pulang, dengan menggendong anak kambing misterius itu.
pak Wanto tidak tahu, apa yang sedang dia lakukan.
sesampainya di rumah. bu Robiah lah yang pertama kali curiga, melihat pak Wanto menggendong sesuatu membuat beliau penasaran, rupanya benar, pak Wanto membawa sesuatu yang ganjil.
"nopo niku pak?" (apa itu pak?) tanya bu Robiah.
"Cempe buk" (anak kambing buk) ucap pak Wanto.
"Cempe'ne sopo toh pak?" (anak kambingnya siapa itu pak?)
"ten ngertos, nemu gok kebon jati" (tidak tau, menemukan di pohon jati)
"loh kok di gowoh muleh to, nek sing nduwe goleki piye" (kok di bawa pulang, kalau yang punya nyari)
"ben. engkok nek onok sing goleki, tak kek'no, sak no jek anakan" (biarin, kalau ada yang nyari nantik tak kasihkan, kasihan, masih anakan)
"ngoten toh, nggih pun, sak karepe bapak" (gitu ta, ya sudah. terserah bapak)
Hari itu juga, pak Wanto membuatkan kandang kecil.
Malam itu. kabarnya, ada sesuatu yang terjadi. bu Robiah lah yang pertama tahu. ketika pak Wanto tengah tidur, bu Robiah mendengar suara seseorang tangah tertawa, suaranya menyerupai anaknya yang paling bungsu, Uswatun
"Tun. awakmu ta iku" (Tun itu kamu kah?)
meski hamil tua, bu Robiah masih kuat untuk bangun dari ranjangnya, ia berjalan menuju ruang tamu, namun, ia tak melihat siapapun disana, ketika bu Robiah akan kembali ke kamar, suara itu terdengar kembali.
namun, suaranya terdengar dari luar rumah. tanpa curiga, bu Robiah membuka pintu, mencari dimana sumber suara yang menyerupai suara anak bungsunya.
suaranya berhenti di kandang belakang rumah.
bu Robiah segera mendekatinya. namun, bukan Uswatun yang ia lihat.
melainkan, siluet hitam, bayangan seorang anak kecil tengah meringkuk di pojokan kandang. kaget bercampur takut, bu Robiah bertanya, siapa gerangan yang ada disana. namun, sosok itu hanya diam di pojokan.
tiba-tiba. sosok itu mulai bergerak, menggeliat layaknya binatang yang tengah terbangun dari tidurnya. ia melihat bu Robiah dengan mata merah menyala, lalu merangkak cepat sekali menuju bu Robiah yang shock siap berteriak.
keesokan paginya. bu Robiah terbangun dengan wajah yang pucat. entah mimpi atau bukan, bu Robiah menceritakan hal ini pada mbok Sartem, tetangga sekaligus wanita tua yang senantiasa di mintai tolong bila ada yang aneh.
dengan wajah tegang, mbok Sartem bertanya.
"Cempe?" (anak kambing) "gowoen aku, gok ndi Cempe'ne iku" (bawa aku kemana anak kambing itu berada)
bu Robiah pun mengajak mbok Sartem ke kandang belakang rumah. anehnya. tidak ada apapun disana. Cempe yang kemarin, lenyap begitu saja
"meteng tuo, trus Cempe. firasatku elek" (hamil tua, lalu anak kambing, firasatku kok jelek) kata mbok Sartem, beliau menunggu pak Wanto dari sawah.
tepat ketika pak Wanto sudah tiba, mbok Sartem langsung bertanya.
"ceritakno yo opo kok isok awakmu nemu Cempe"
(ceritakan bagaimana kamu kok bisa menemukan anak kambing)
pak Wanto tidak paham apa yang terjadi, namun ia tau, mbok Sartem mungkin di beritahu oleh bu Robiah, maka pak Wanto pun bercerita namun ia belum menceritakan mimpinya, ia hanya bercerita bahwa ia menemukan Cempe saja
di beritahulah bila Cempe itu hilang, dan membuat pak Wanto kebingungan.
maka, jam berganti menjadi hari, hari berganti menjadi bulan, pak Wanto masih tidak tau, apa yang tengah mengintai keluarganya. sampai tibalah, masa persalinan bu Robiah yang di bantu mbok Sartem dan Safi
Safi adalah dukun beranak di kampung itu. ada hal yang Safi ceritakan, sebelum beliau masuk ke rumah pak Wanto.
di sepanjang jalan, ia mendengar suara kambing mengembik, anehnya, dia tidak melihat satu kambing pun di sana-sini. hal itu, membuat Safi sedikit merinding
ini di lanjut apa gak ya, badan sudah mulai merinding di kamar sendirian. sudah lama gak ngerasain ini. tapi serius cerita ini bener-bener ngeri dulu.. dan masih sangat-sangat panjang ceritanya..
Safi sudah mempersiapkan semua untuk lahiran anak ke lima pak Wanto, di bantu mbok Sartem, bu Robiah sudah berbaring, tepat ketika baju bu Robiah di angkat oleh mbah Safi, maka saat itulah mbak Safi tidak bisa bicara banyak.
perut bu Robiah menghitam, sangat hitam dan itu ganjil, bahkan menurut Safi, ini kali pertama ia melihat hal seperti ini, namun bukan kali pertama ia mendengar hal ini, dulu, Safi pernah di ceritakan oleh buyut beliau, salah satu hal mengerikan yang terjadi adalah,
ketika melihat Wungkuk ireng. apa itu Wungkuk Ireng?
Wungkuk Ireng adalah perut yang konon di setubuhi oleh Jin yang sudah bukan Jin lagi, melainkan iblis jahanam yang menyusupkan anaknya di roh bayi yang akan lahir.
tidak hanya Safi. mbok Sartem juga bisa melihatnya. mereka menatap bu Robiah dalam diam, namun tangan dan badan mereka gemetar, sebegitu hebatnya sampai wajah mereka berdua pucat pasi.
ini bukan pertanda buruk, melainkan petaka dari petaka yang paling di takuti manusia
mereka tau apa yang akan terjadi selanjutnya, namun mereka tidak bisa menebak apa yang sedang dan akan menimpa mereka, dosa apa yang di perbuat oleh keluarga pak Wanto.
pak Wanto menunggu dengan cemas, ia berharap akan mendapat seorang anak lelaki. sudah 4 anak yang ia miliki namun tidak satupun dari mereka mendapatkan seorang anak lelaki. jadi, salahkah bila pak Wanto berharap kali ini anaknya adalah anak lelaki??
kecemasan yang semakin memuncak, membuat pak Wanto melupakan 5 mimpi yang dahulu pernah ia alami, salah satunya adalah, ketika kambing hitam itu menjamin pak Wanto akan hidup enak, masyur dan kaya raya, bila ia mau melakukan satu tugas kecil..
menggorok Cempe yang ia temukan. kemudian menguburkanya di halaman belakang rumahnya.
anehnya, pak Wanto tidak punya kuasa menolak. dan ia melakukanya tanpa bertanya akibat perbuatanya.
karena ketika pak Wanto melihat mbok Sartem bertanya tentang Cempe,
ia tahu. ada sesuatu yang tengah terjadi namun tidak ia ketahui.. di mimpi terakhirnya. pak Wanto tidak lagi melihat makhluk itu, melainkan, ia melihat dirinya sendiri, bertanduk dan menyerupai wajah seekor kambing.
di tengah kegelisahanya, lamunan pak Wanto buyar manakala ketika ia terperanjat saat mendengar suara kambing mengembik, sangat keras, sampai seisi rumah yang di penuhi tetangga yang penasaran dengan kelahiran anak kelima pak Wanto berkerumun
di Desa -desa jawa timur, memang hal biasa ketika tetangga berkumpul untuk melihat dan menyaksikan persalinan sebuah keluarga, guna menyemangati dan memberi selamat, namun tidak pada hari ini, semua orang tampak bingung, dimana seharusnya yang mereka dengar adalah tangisan bayi
berubah menjadi suara kambing mengembik.
masih dalam suasana kebingungan, pak Wanto terkejut begitu saja saat mbah Safi berteriak memanggil namanya.
tepat ketika pintu terbuka dan pak Wanto masuk. ia melihat isterinya, bu Robiah lemas, dengan mata merah karena menangis
bingung menyelimuti wajah pak Wanto, mbah Safi dan mbok Sartem menatapnya nanar penuh simpati, karena mereka menatap ke satu titik, dimana, di balut kain putih dengan darah merah segar yang membasahi ranjang, ada sesuatu yang hitam, besarnya tidak lebih dari tangan menelungkup
itu adalah bayi mungil.
hanya saja, bentuknya tidak menyerupai manusia sedikitpun. kulitnya berkeriput hitam dengan bola mata menonjol keluar, meski matanya terpejam, dan hidungnya pesek, dengan bibir panjang setelinga, di kepalanya ada tanduk kecil, dan beraroma busuk
pak Wanto masih tidak mengerti, sampai mbok Sartem mengatakanya.
"Anakmu. sudah meninggal To"
"Cublak-cublak suweng
suwenge ting gelenter
Mambu ketudhung gudhel
Pak Gempong lera lere
Sapa ngguyu ndelikake
Sir sir pong dele gosong
Sir sir pong dele gosong"
sa'Diah memilih mengaji manakala 3 adiknya sedang bermain "cublak-cublak suweng" yang memang permainan kesukaan adik-adiknya.
ia bisa mendengar suara riang dan tawa mereka dari teras rumah ketika memainkan itu, di tengah ia membaca rentetan huruf arab di depanya, tiba-tiba, perasaan sa'Diah mendadak menjadi tidak enak dan saat itu juga, ia tidak lagi mendengar suara adk-adiknya, pnasaran, Diah mengintip
kamar sa'Diah tepat berada di samping teras sehingga ia hanya perlu berjinjit untuk bisa melihat apa yang menyebabkan adik-adiknya berhenti bermain.
rupanya. ketiga adiknya masih di sana, berdiri memutar, namun, anehnya, mereka hanya diam, seolah-olah bagai patung tak bergerak
bingung. sa'Diah keluar. untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"dek lapo kok meneng-menengan?" (dik kalian ngapain diem-dieman disana?)
bukan jawaban yang ia dapat, melainkan kesunyian yang menghantam sa'Diah dimana hari mulai petang.
sa'Diah hanya ingat, saat itu, tidak ada apapun yang bisa ia rasakan, semuanya seolah-olah sepakat untuk diam, bahkan angin pun tidak berhembus, mendekatlah sa'Diah ke arah adik-adiknya, namun, belum beberapa meter, sa'Diah di buat diam tercengang manakala dia melihat, sosok jauh
siluet hitam yang rupanya sedari tadi memperhatikan yang luput oleh mata sa'Diah, kini menjadi fokusnya
hanya mengandalkan cahaya rembulan, sa'Diah melihat siluet hitam itu yang tidak lebih tinggi dari sa'Diah, dengan cemas dan takut, sa;Diah memaksakan kakinya mendekati adiknya
sembari tetap memperhatikan sosok siluet hitam yang hanya memperhatikan, sa'Diah mulai mengetahui apa itu, rupanya, siluet hitam yang sedari memperhatikanya adalah seekor kambing hitam, namun, entahlah. kambing siapa yang belum di kandangkan ketika petang sudah datang.
sa'Diah menarik adik-adiknya, mengatakan mereka harus masuk karena malam sudah menjelang.
ketiga adiknya menurut, dan mengikuti langkah sa'Diah, tepat ketika mereka sudah masuk ke dalam rumah, sa'Diah berniat menutup pintu dan memperhatikan kembali dimana kambing itu berdiri,
akan tetapi, tidak ada apapun disana. hanya tanah lapang kosong tanpa kehadiran kambing hitam yang ia lihat tadi. mendadak, perasaan buruk itu kembali muncul, dan seolah-olah, memberitahu malapetaka sedang menyambangi keluarganya.
bila ada yang berbeda dari hari ini, maka pak Wanto adalah salah satunya, semenjak kematian jabang bayi yang sudah ia damba-dambakan, yang kabarnya berkelamin laki-laki itu meninggal, pak Wanto kini menjadi pribadi yang tertutup bahkan ia sudah lupa cara menyapa tetangganya
Mbok Sartem dan mbah Safi, sepakat. apa yang ia lihat hari ini tidak akan pernah ia ceritakan kepada siapapun bahkan kepada bu Robiah isteri pak Wanto yang saat itu, pingsan lemas, tanpa tahu apa dan bagaimana ia bisa melahirkan makhluk yang lebih terlihat seperti anakan kambing
kisaat itu juga pak Wanto hanya bisa murung, sementara mbok Sartem dan mbah Safi mempersiapkan perkuburan itu, disinilah letak keanehan yang kini menjadi buah bibir pembicaraan tetangga. hal itu adalah, ketika jabang bayi itu di gendong mbok Sartem, kain yang di gunakan, hitam
banyak warga yang kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati mereka, kenapa kain yang di gunakan untuk perkuburan bayi ini berwarna hitam legam, bukan putih bersih seperti mayit-yang lain.
kejadian yang sebenarnya terjadi adalah, ketika bayi itu di kafani oleh mbah Safi, tidak ada yang lebih tersentak dan kaget karena saat kain putih di balut pada tubuh kecil jabang bayi, tiba-tiba kain itu menghitam seolah-olah ada hal-hal di luar nalar sedang bermain disini.
tak henti-hentinya mbah Safi istighfar, sembari gemetar, ia memberanikan diri menggendongnya dan memberikanya kepada mbah Sartem.
pak Wanto lebih banyak diam, bahkan ketika si bayi sudah di kuburkan, ia masih diam, seakan-akan ia tahu, apakah ada hubunganya dengan cempe itu
Malam harinya, pak Wanto kembali bermimpi untuk kesekian kalinya.
namun, di mimpinya yang ini, pak Wanto terjebak di sebuah tempat lapang, yang di selimuti kegelapan total, tidak ada apapun disana, sampai, terdengar suara mengembik.
maka, di tataplah seekor kambing di hadapanya
di hadapan kambing itu ada jabang bayi kecil, kulitnya masih kemerahan, dan pak Wanto menatapnya bingung.
"iki anakmu" (ini anakmu) kata kambing itu.
dengan perasaan gugup, pak Wanto mengangkat tubuh kecil itu, suara tangis mengoek dari jabang bayi, membuat pak Wanto luluh
lalu, perlahan, jabang bayi kecil itu mulai berubah, kulitnya yang kemerahan menjadi hitam dengan bola mata menggelembung, bibirnya yang kecil mungil membengkak sampai mewujudkan diri bahwa jabang bayi itu adalah cempe yang ia gorok tempo hari
"Gak" "Gak" teriak pak Wanto, menepis bahwa jabang bayi itu bukanlah anaknya
"Woi menungso" (woi manusia) , "opo awakmu eroh, sopo sing ngeraipno anakmu" (apa kamu tau siapa yang sudah mencabut ajal anakmu)
pak Wanto bingung, kambing itu terus berbicara dengan suara menggelegar
"entenono mene, yen mene onok sing mati yo iku tuntut balasku gawe anakmu" (tunggu besok, bila ada yang meninggal itu adalah pembalasanku untuk mendiang anakmu)
keesokan paginya, pak Wanto bekerja seperti biasanya, meski hari-harinya jauh lebih kelabu di bandingkan hari kemarin, ketika pak Wanto sedang membabat rumput di lahan yang ia garap.
terdengar seseorang mendekatinya, sembari berujar dengan nada tergopoh-gopoh
"pak, pak Wanto, nuwun sewu, sudah dengar?" (pak, pak wanto, mohon maaf, bapak sudah dengar)
"dengar opo?" (dengar apa?)
"mbok Sartem, tetangga sampeyan baru saja meninggal"
kaget, pak Wanto teringat dengan kambing di dalam mimpinya. hingga pak Wanto berujar. "Karma!!"
desas-desus tersebar, kabarnya, meninggalnya mbok Sartem ganjil. selain itu, mayitnya juga tidak kalah membuat orang geleng-geleng kepala, salah satunya, mbok Sartem meninggal dengan bau seperti kambing. lebus.
tidak hanya itu, sebelum meninggal, mbok Sartem kabarnya berteriak2
memaki dan mengutuk, seolah-olah dia sedang berbicara dengan sesuatu, di akhir kalimatnya selalu satu kalimat yang terucap terus menerus, yaitu "IBLIS"
namun, yang paling mengerikan, mbok Sartem meninggal dengan memuntahkan darah yang warnanya hitam kemerahan, menyerupai janin
banyak orang mulai menyebar rumor, mulai dari santet hingga sangkut paut dari perbuatan demit (Setan), namun, mbah Safi lah yang tau apa yang terjadi, hari itu juga, di pemakaman mbok Sartem, mbah Safi tampak sedang mencari seseorang, namun ia tak kunjung di temukan disana.
sampai, di sudut matanya, akhirnya ia melihatnya, pak Wanto, berdiri jauh dari kuburan mbok Sartem yang baru saja di kuburkan, mengamatinya dengan bibir tersungging, sebuah senyuman yang tidak sepantasnya terlihat dari seorang tetangga.
sudah lebih dari 5 hari, pak Wanto tidak pulang, kalaupun pulang hanya untuk mengganti baju kemudian keluar lagi, meskipun pak Wanto masih memberi nafkah berupa uang yang cukup banyak, namun, bu Robiah bingung, darimana uang itu, bila pak Wanto sudah tidak kerja lagi garap sawah
tidak hanya bu Robiah, namun tetangga di kanan kiri juga bingung, pernah mereka tanpa sengaja melihat pak Wanto berjalan, anehnya, ketika di sapa, pak Wanto seperti tidak mau dengar dan melanjutkan perjalananya seolah-olah ia sengaja tidak mengubbris niat baik tetangganya
puncak keanehan yang di saksikan warga adalah, pak Wanto selalu berjalan dengan pose menggendong anak kecil, seolah-olah di tanganya ia sedang menggendong entah apa itu.
warga mulai curiga, pak Wanto sudah gila.
meski begitu, tidak ada yang berani menegur atau sekedar bertanya apa yang terjadi pada pak Wanto, karena bagaimanapun juga, pak Wanto pernah menjadi seseorang yang di hormati dan di tuakan di kampung ini.
sa'Diah pernah melihat, suatu malam. ketika ia berniat untuk tidur namun pikiran-pikiranya masih memaksanya untuk terjaga tiba-tiba di bangunkan dengan suar pintu berderit, dengan cepat, sa'Diah berpura-pura untuk tidur.
di dalam kamarnya, sa'Diah tidur bersama ketiga-adiknya
di situlah ia melihat pak Wanto, bapaknya masuk dan berjalan melewatinya, ia membangunkan salah satu adiknya. Uswatun dengan nada suara berbisik seolah-olah, si bapak tidak mau, anak-anaknya yang lain dengar.
"tun, tangi nak" (Tun bangun nak) katanya, "melu bapak yuk diluk ae" (ikut bapak yuk, sebentar saja)
di dalam keremangan kamar, sa'Diah melihat gelagat yang aneh dari si bapak, seumur-umur, ini adalah kali pertama bapak membangunkan anaknya di jam yang sudah selarut ini.
Uswatun bangun, meski ia masih mengantuk. tanpa membuang waktu, dari bayangan di gubuk, Sa;Diah melihat si bapak mengangkat Uswatun dan pergi meninggalkan kamar, tanpa lupa menutup pintu kembali.
sa'Diah terbangun, mengintip dari jendela kamarnya, ia melihat, si bapak pergi
keesokan paginya, sa'Diah bangun dan hal pertama yang ia lakukan adalah, mencari Uswatun yang rupanya sedang ada di pawon (dapur) tampak lahap memakan seiris daging, mereka saling menatap satu sama lain. sebelum sa'Diah mendekatinya
"mambengi awkmu nang ndi Tun" (semalam kemana}
Uswatun tampak bingung, ekspresnya menunjukkan ekspresi ketidaktahuan apapun, "nang ndi to mbak, Atun ndak kemana-mana" (Kemana ta mbak, Atun tidak kemana-mana)
aneh, namun sa'Diah yakin ia melihat dengan mata kepala sendiri, dan bagaimana bisa Atun mengatakan hal sebaliknya
meski penasaran, namun sa'Diah tidak bisa mendapatkan jawaban apapun dari Uswatun sekeras apapun ia memaksanya berbicara, karena Atun hanya mengatakan ia tidak kemana-mana.
si bapak sendiri, masih jarang pulang, sekalipun ia pulang, paling hanya untuk mengganti bajunya saja
di Malam yang entah keberapa dimana sa'Diah kembali memergoki si bapak membawa Uswatun pergi, sa'Diah nekat untuk mengikuti.
meski di liputi perasaan was-was, dan ketakutan yang menjadi-jadi, sa'Diah berjalan jauh di belakang, mereka menuju sebuah jalan yang sa'Diah tau, kebun
itu adalah kebun Jati.
apa yang di lakukan bapak dan Uswatun di tengah malam seperti ini, terlebih di sebuah kebun jati yang sa'Diah tau, adalah salah satu tempat yang jarang di datangi oleh siapapun.
dinginya malam, tak menghentikan rasa penasaran sa'Diah, sampai, ia melihatny
sa'Diah melihat Uswatun di depan sebuah pohon rimbun, pohonya sendiri tidak lebih tinggi dari dirinya, namun, di depan pohon itu, ada luyak, berisi bunga dan sesaji, lengkap dengan jarum dupa di atasnya.
Uswatun, kemudian melahap isi luyah itu dengan tangan kosong
si bapak, hanya duduk menyaksikan anak bungsunya melahap habis apa yang ada di depanya, termasuk bebungaan dan kopi hitam itu.
jantung sa'Diah, berdegup kencang tidak karuan, sebelum, terdengar suara mengembik di belakangnya, sa'Diah terdiam, kaku, lalu jatuh pingsan
sa'Diah terbangun dengan kondisi demam tinggi, namun ia masih mengingat jelas apa yang ia lihat.
pak Wanto, duduk di sampingnya, menatapnya dingin, namun tak sepatahpun kata keluar dari mulutnya. apakah ini cara bapak membungkam mulut sa'Diah, agar tidak menceritakan pd siapapun
berbeda dengan bapak yang lebih banyak diam, Uswatun tampak sedang bermain dengan 2 kakaknya, Yuni dan Rina. seperti biasanya, seperti tidak ada yang terjadi kepadanya.
namun, semenjak itu, hanya Uswatun yang memandang sa'Diah dengan tatapan penuh kebencian, selebihnya ia tau,
Uswatun bukan lagi seperti adik bungsunya lagi.
"Mbak" "Mbak"
seseorang menggoyang tubuh sa'Diah, sebelum ia menyadari siapa yang membangunkan dirinya, ia melihat Rina, wajahnya panik.
"opo Rin?" tanya Diah ikut panik.
"Atun gak ada di tempatnya"
Diah melirik tempat dimana Atun biasanya tidur. kosong.
sempat terdiam beberapa saat, karena entah bagaimana menjelaskan kepada Rina, Diah tau dimana Atun berada, masalahnya, sejak kejadian itu, Diah tau, dirinya seperti selalu di awasi, entah oleh siapa, namun perasaan itu membuatnya terus khawatir.
dengan berusaha tetap tenang, meski ketakutan meliputi perasaan Diah, ia beranjak dari tempat tidurnya, melangkah keluar kamar, ia hanya mengatakan, mungkin Atun ada di kamar orang tuanya, karena ini bukan kali pertama si bungsu pergi dan berpindah ke kamar orang tuanya.
Diah menutup pintu kamarnya, yang terbuat dari triplek tipis, karena memang, keluarganya bukanlah keluarga yang di gelimangi harta.
sempat ragu, namun Diah membulatkan tekat, sebelum, ia mendengar suara Atun, ia sedang mendendangkan sebuah nada permainan kesukaanya.
"Cublak-cublak suweng
suwenge ting gelenter
Mambu ketudhung gudhel
Pak Gempong lera lere
Sapa ngguyu ndelikake
Sir sir pong dele gosong
Sir sir pong dele gosong"
suaranya terdengar dari halaman belakang rumah, sa'Diah berjalan mendekatinya. ia yakin, itu suara Atun, tetapi
Atun tidak sendirian. ia mendengar, ada 2 atau 3 suara lain sedang menyanyikanya bersama-sama.
yang jadi pertanyaan adalah, untuk apa Atun bermain cublek cublek sueng, tengah malam seperti ini.
berusaha mengintip, sa'Diah mendekati gubuk rumahnya yang terbuat dari bambu, di sela-sela lubang itu, ia mendekatkan wajahnya. melihat dengan seksama, namun, tepat ketika sa'Diah melihat figur Atun yang tengah duduk bersila, nyanyian mereka berhenti, berganti menjadi kesunyian.
kesunyian itu membuat suasana saat itu menjadi begitu mencekam, seolah-olah mereka tahu, seseorang sedang mengamatinya.
di tengah pikiranya tentang "mereka" sa'Diah melihat Atun, kepalanya menoleh tepat dimana sa'Diah berdiri menatapnya. jantung sa;Diah rasanya seperti mau copot
belum berhenti smpai disana, sa'Diah seperti ingin lari saja dan kembali ke atas ranjangnya, namun, semua ini membuat sa'Diah penasaran, berbuah nekat, sa'Diah mengintip kembali, namun yang dia dapat, tepat di lubang itu, mata mereka saling bertemu
Atun tahu, sa'Diah melihatnya
"Mbak" kata Atun, ia memanggil nama Diah, "Ayok maen"
karena seperti tertangkap basah, maka sa'Diah melangkah keluar, membuka pintu belakang rumahnya, dan di lihatnya Atun, mengamatinya dengan senyuman ganjil yang menakutkan.
sa'Diah mengikuti langkah Atun, penasaran dengan suara siapa saja yang ia dengar tadi, sa'Diah di buat diam mematung, manakala ia melihat di hadapanya, ada Rina dan Yuni, duduk bersila seolah menunggu mereka
bila Rina dan Yuni ada disini bersama Atun, lalu, siapa yg ada di kamar
meski puluhan pertanyaan muncul, di dalam pikiranya, sa'Diah mencoba untuk tenang dengan apa yang terjadi, ia duduk bersila sama seperti yang lain, sampai ia mendengar Atun mengatakan,
"sing dadi pak Empo sampeyan dulu ya mbak" (yang jadi pak Empo kamu dulu ya mbak)
awalnya ragu, namun sa'Diah mengiyakan permintaan Atun, ia tahu, akhir-akhir ini hubungan mereka seperti berjarak dan Diah tidak tahu apa alasanya, jadi, bila menjadi pak Empo bisa membuat Atun dekat lagi dengan Diah, maka, Diah akan melakukanya.
semua tau, apa itu pak Empoh dalam permainan cublek cublek suweng, pak Empoh akan menjadi penebak dalam permainan ini, karena sejatinya, permainan ini adalah permainan untuk mencari batu yang akan di sembunyikan di salah satu telapak pemain lain, masalahnya, pak Empo haruslah-
di wajibkan untuk berbaring telungkup, sementara permainan lain mulai menyanyikan lagunya, sekaligus membuat batu itu agar pak Empoh tidak tau dimana batu itu berada.
maka, sa'Diah mulai berbaring telungkup menghadap lantai, sementara 3 saudaranya mulai bernyanyi.
anehnya, ketika sa'Diah telungkup, ia merasa, ada pemain ke 4 di antara mereka, meski begitu, sa'Diah lebih takut tentang suara lain yang ia dengar, suara yang tidak pernah ia kenal. sampai akhirnya, ia mencium aromanya,
aroma kambing itu, kembali. di antara mereka
ketika sampai di lirik "sapa ngguyu ndelikake" maka sa'Diah mulai membuka matanya, menatap ke 3 adiknya, tanpa tahu dimana ia merasakan pemain ke 4 itu berada, semua wajah adiknya mengisyaratkan ekspresi yang sama, pucat dan begitu datar, tidak seperti adik-adiknya selama ini.
sa'Diah menunjuk Atun, ia memilih tangan kirinya, maka Atun membuka tanganya, dan batu kerikil itu tidak ada disana, sekarang ia menunjuk Rina, Rina juga sama, di atas telapak tanganya, batu itu tidak di temukan, maka, Diah harus kembali menjadi pak Empoh..
hal ini terus terjadi lebih dari 7 kali, ketika sa'Diah mulai telungkup lagi, terdengar suara tertawa yang membuat sa'Diah tidak nyaman, seolah-olah, ketiga adiknya mengerjainya, bahwa sebenarnya, batu itu memang tidak pernah ada bahkan sejak permainan di mulai.
menunggu, sa'Diah menunggu ketiga adiknya mulai menyanyikan liriknya, namun, mereka tak kunjung menyanyikanya, bingung, sa'Diah ingin membuka matanya namun ia ingat, ia adalah pak Empo dan tidak di ijinkan baginya membuka mata sampai nyanyian di senandungkan. saat itu, bisikan-
itu terdengar.
"MATI"
suaranya begitu dingin, dan menusuk. ia tahu, itu bukan suara adiknya, apakah itu suara pemain ke 4 yang sedari tadi ia rasakan.
angin dingin tiba-tiba berhembus, sa'Diah terjebak dalam keheningan yang membuat ketakutan memenuhi isi kepalanya.
di tengah sa'Diah menunggu, terdengar suara familiar yang membuat sa'Diah tersentak.
"Lapo koen nang kene!!" (ngapain kamu ada disini?)
sa'Diah melihat ibu Robiah, menatapnya dengan tatapan tajam.
tidak hanya bu Robiah yang membuat sa'Diah kaget, rupanya, ketiga adknya tidak ada disana, jadi sedari tadi, berarti, sa'Diah hanya sendirian disini
meski amarah bu Robiah meluap-luap, sa'Diah hanya diam, tak terfikirkan untknya menceritakan semuanya, dan ketika Diah masuk kamar
-ia melihat ketiga adiknya tertidur lelap, termasuk Atun yang sedari tadi nampaknya tidak pernah terbangun dari ranjangnya, hanya saja. aroma kambing itu belum juga hilang dari penciuman di hidungnya.
sejak malam itu banyak kejadian yang terjadi, dan rumah sa'Diah suasananya sudah sangat berbeda, namun ada satu hal yang Diah ingat, entah sejak kapan, rumahnya jadi sering di lewatin oleh seseorang yang Diah kenal, Safi.
dukun beranak itu, kadangkala melewati rumahnya seperi-
mengawasi.
tidak hanya itu, Atun adik bungsunya juga mulai aneh, dia seringkali menjauhkan diri dari ketiga kakaknya, tidak mau makan sampai sering terlihat menyendiri, hal ini, membuat sa'Diah curiga, ada yang di sembunyikan oleh Atun, puncaknya, saat Atun muntah di kamar.
Muntahnya sendiri, bukan muntah sembarangan, melainkan muntah darah kehitaman.
darah yang seperti sudah lama mengendap dalam tubuhnya.
bu Robiah yang paling khawatir, namun pak Wanto tampak tidak perduli, beliau masih sering pergi entah kemana dia berada.
sampai akhirnya, perlahan-lahan, penyakit misterius yang menyerang Atun berujung pada nyawanya. ini terjadi tepat di malam hari, Atun berteriak seperti-
orang yang kerasukan.
Diah dan kedua adiknya hanya bisa melihat Atun yang mencakar-cakar badanya, tidak hanya itu, ia juga menghantamkan kepalanya ke semua benda di sekelilingnya, membuat tetangga berkerumun datang..
mobil Carry tua, milik pak Lurah sampai terparkir di depan rumah bu Robiah, berniat membawa Atun ke rumah sakit terdekat.
sembari orang-orang mencaritahu dimana keberadaan pak Wanto. hingga tepat subuh, di rumah sakit, Atun meninggal dunia.
suasana Rumah bu Robiah ramai orang, dan seseorang yang paling di cari itu muncul. pak Wanto pulang dengan mata marah mengawasi, semua warga tampak geram dengan apa yang pak Wanto lakukan, entah apa itu, Diah hanya menatap nanar wajah Atun terakhir kalinya, sebelum liang lahat-
menutupi wajah adik bungsunya. yang ia tahu, meninggal dengan cara yang tidak wajar.
hanya Diah yang tau, bahwa sebelum Atun meninggal, ia menyerupai wujud seekor kambing.
di tengah duka itu, sa'Diah mencuri dengar pak Wanto dengan seseorang, ia kenal dan tahu siapa itu.
Mbah Safi, tampak bersitegang dengan bapaknya, entah apa yang ia bicarakan, mbah Safi hanya mengatakan "Wes ta lah, marinono timbang kabeh anakmu di jupuk nang ngarep raimu"
(sudah, hentikan saja semuanya, sebelum semua anak-anakmu, di ambil di depan mukamu)
dengan wajah tak berdosa, pak Wanto hanya menjawab pelan.
"Guk urusanmu" (bukan urusanmu)
"Wedus Gibas" (Kambing Gibas= Kambing kotor/berbulu) "itukah jenis perewangan sing nuntun awakmu" (itukah jenis iblis/jin yang menuntunmu)
"Mbok Sartem gak salah, pancen pantes anak iblismu mati"
(Mbok Sartem tidak bersalah sepenuhnya, memang anak iblismu pantas mati)
mbah Safi pergi, meninggalkan pak Wanto sendirian, namun di matanya. ia tahu, ia tidak atau lebih tepatnya, belum mau berhenti untuk memulai semua ini.
Iblis masih berbisik di telinganya.
kematian Atun banyak menimbulkan pertanyaan, selain hal itu, banyak warga yang juga melihat gelagat aneh pada pak Wanto, namun tidak ada yang berani menegur apalagi bertanya apa yang sedang pak Wanto lakukan.
lamban namun pasti, rumor keluarga pak Wanto menyebar bagai penyakit.
namun satu hal yang di inget temen saya.
Pak Wanto yang di kenal warga bermata pencaharian sebagai buruh tani, tiba-tiba menjelma menjadi orang yang kaya raya. tidak ada yang tahu darimana dia mendapatkan sumber kekayaan itu.
sebegitu kayanya, sampai mampu membeli tanah luas.
tanah yang ia beli adalah tanah dimana kebun jati itu berdiri.
di bangunlah rumah besar dengan 2 lantai, lengkap dengan semua tetek bengek menyerupai orang kaya baru. sampai sini, masih tidak ada yang berani mempertanyakan darimana sumber kekayaan itu.
mulai banyak orang membicarakan tentang, pesugihan, bersekutu dengan setan, atau melakukan tindakan ilegal. akan tetapi, tidak ada yang bisa membuktikan ucapan itu.
satu hal yang membuat warga semakin curiga, setiap hari, di depan rumahnya, terparkir mobil mewah berbagai merek.
mobil-mobil itu berjejer di depan rumah pak Wanto, sampai-sampai seperti melihat pemandangan hajatan anak presiden, tidak hanya itu, kampung ini jadi ramai oleh wajah-wajah baru yang selalu berseliweran di depan rumah pak Wanto.
disini, warga mulai resah, dan mulai mencari tahu.
selidik demi selidik, rupanya, entah sejak kapan, pak Wanto menjadi tabib yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit dengan cara memindahkan penyakitnya ke tubuh binatang.
binatang itu adalah seekor kambing.
kambing ini, khusus dan harus sesuai oleh arahan pak Wanto.
bisa di bilang, setiap kambing memiliki ciri khas khusus dan hanya pak Wanto yang tau model kambing seperti apa yang harus di bawa oleh mereka yang ingin mencari jalan sembuh lewat jalur yang menurut beberapa orang di percaya, sesat.
dari sini, kita akan mulai masuk ke inti ceritanya. cerita yang dulu sempet bikin saya penasaran dan melihat langsung lokasinya.
malam ini di selesaikan apa tidak??
kalau sampai habis bisa lewat jam 12?? atau di cicil lagi??
ada hal yang menarik, semenjak berita kehebatan pak Wanto ini menyebar, banyak keanehan yg membuat warga curiga, salah satunya adalah, tidak ada lagi yang pernah melihat bu Robiah, Yuni dan Rina. padahal kabarnya, beliau ada di dalam rumah besar itu, yang sekarang, di jaga ketat
hanya anak sulungnya saja yang sering keluar rumah, itu pun tidak ada warga yang berani mendekat, semua ini tidak lepas dari kejadian-kejadian mengerikan setiap kali bersinggungan dengan keluarga pak Wanto.
kabarnya, sesiapa yang membenci keluarga ini, selalu mendapat sial.
namun, ada satu cerita yang pernah atau sempat menyebar, dimana ada warga yang tidak sengaja melihat sesuatu ketika melewati rumah pak Wanto malam hari.
di jendelanya, ia melihat bu Robiah, rambutnya panjang tergerai, di wajahnya, ia tampak memelas meminta tolong.
terlepas asli atau tidaknya cerita itu, warga tetap merasa ngeri, seperti ada yang ganjil di rumah sebesar itu. disinilah, baru terbuka satu rahasia kecil, konon, ada satu kamar yang tidak boleh di masuki sembarangan orang.
bahkan, pasien-pasien pak Wanto, di larang masuk kesana
Safih, di usia uzurnya, tidak pernah ia berpikir menyaksikan fenomena Wungkuk ireng, namun, semenjak kejadian itu, berbulan-bulan ia tidak lagi bisa tidur nyenyak, setiap malam, makhlu itu terus dan terus mendatangi mimpinya, hari ini, pintunya di ketuk oleh seseorang.
Sa'Diah
awalnya ragu. namun, ia melihat tatapan mata kosong membuat Safi akhirnya mempersilahkan masuk anak yang juga lahir dari buah kerja kerasnya dulu.
"ono opo ndok. gak biasane awakmu mrene" (ada apa nak, gak biasanya kamu kesini)
sa'Diah masih diam, menimbang maksud kedatanganya
"mbah" kata Diah, ia sudah bertekad membagi ketakutanya pada seseorang yang mungkin tahu langkah apa yang harus ia perbuat atas peristiwa yang menimpa keluarganya. "Ibuk. Ibuk, jadi Gila"
Safi hanya diam, matanya menerawang jauh.
"Adik-adikmu piye" (adikmu bagaimana?)
heran bercampur bingung, seperti Safi tau apa yang terjadi di dalam rumahnya. seharusnya tidak ada yang tau apa yang terjadi, mengingat bagaimana si bapak menutup semua akses peristiwa di dalam rumahnya
"Rina. lumpuh mbah"
saat itulah, wajah tua yang lelah itu akhirnya menangis
"Lumpuh yo opo maksudmu?" (Lumpuh bagaimana maksudmu?)
sa'Diah mulai menceritakan semuanya. di mulai ketika pertama mereka menginjakkan kaki di atas tanah itu, Diah tau, dimana Rumah itu di bangun, apalagi bukan, di atas Tanah dimana Diah menyaksikan adik bungsunya dulu. Atun
Malam itu. masih teringat suara marah dan penuh kelakar ibunya agar pak Wanto menyudahi apa yang sudah ia lakukan. bukan tidak tahu, namun bu Robiah sangat memahami apa yang sedang pak Wanto lakukan.
termasuk setiap malam, kemana pak Wanto berada. apalagi bila bukan, bersekutu
rupanya, bebauan amis yang awalnya bu Robiah tidak tahu itu tercium dari aroma mulut pak Wanto, perlahan, kejanggalan itu semakin terungkap manakala bu Robiah sampai harus berpuasa dan sholat malam, yang konon membawanya untuk menyaksikan suaminya, pak Wanto, tengah mengunyah-
-Cempe yang dahulu tidak di temukan arah batangnya, ternyata terkubur di belakang rumahnya. tidak hanya itu, di mimpi yang membuat bu Robiah tidak bisa bersikap tenang itu, ia melihat, pak Wanto selalu membawa anak itu di punggungnya.
pose sedang menggendong anak itu adalah-
gambaran dari orang yang tengah memelihara iblis dalam hidupnya.
namun, pak Wanto memilih bungkam, dan selanjutnya, terorr itu mulai membuat bu Robiah kehilangan akalnya. sa'Diah masih ingat, bagaimana akhirnya ibunya mulai kehilangan akal sehatnya saat mulai menangis.
Safi hanya mendengarkan, sementara sa'Diah seolah bingung apakah ia harus melanjutkan ceritanya.
sampai akhirnya kalimat itu terucap.
"mari Rina, Yuni sing bakal nampani duso bapakmu, baru mari iku, awakmu ndok" (setelah Rina, yuni yang akan menerima dosanya, baru setelah itu-
kamu yang akan menanggungnya).
sa'Diah adalah salah satu gadis primadona kampung ini, namun tidak ada yang menyangka ia memiliki garis nasib yang sial. meski begitu, ia tahu, mbah Safi masih menyembunyikan banyak hal, namun entah apa yang di sembunyikan sepertinya menyangkut misteri tentang bapaknya
"kulo kudu yok nopo mbah?" (saya harus apa mbah?)
ia menatap wanita tua yang tampak salah tingkah, seperti dugaan sa'Diah ada rahasia yang di sembunyikan, maka mbah Safi mengatakanya hari itu juga.
"petangbelas dino tekan sak iki, mbalik'o mrene, aku onok seng arep tak kek'no)
(empat belas hari dari hari ini, kamu kembali lagi kesini, ada sesuatu yang harus ku berikan)
sa'Diah bersiap pamit, namun, mbah Safi memanggil lagi.
"sek sek ndok" (sebentar nak). mbah Safi masuk ke dalam kamarnya, kemudian keluar membawa 4 helai bunga kamboja, ada firasat aneh ketika Diah menerimanya.
"gowoen. mbah gak isok teka ngelayat" (bawa aja, mbah tidak bisa-
melayat}
kaget. sa'Diah bertanya apa maksudnya, namun mbah Safi mengantar sa'Diah keluar lalu menutup pintu gubuknya rapat-rapat. tersimpan tanda tanya besar dalam benak sa'Diah ketika ia pulang. namun, 4 helai bunga kamboja, apalagi bila bukan pertanda kematian.
pertanyaan sa'Diah terjawab ketika di jalan ia bertemu beberapa orang, mengamatinya dengan mimik wajah prihatin, dan ketika Diah sampai di depan rumahnya, ia melihatnya, bapaknya, pak Wanto sudah menunggunya dengan mata berapi-api. "tekan ndi koe?" (darimana kamu?)
sa'Diah tidak menjawabnya, ia fokus melihat apa yang ada di belakang bapaknya, disana, ada 2 jasad yang di tutup selendang. ketika ia mendekat, adiknya Yuni memberitahunya.
"Mak, ambek Rina gak onok mbak" (ibuk sama Rina meninggal kak)
detik itu, waktu seperti berhenti.
sa'Diah diam, mematung, lalu berujar dengan nada penuh kebencian.
"PENGIKUT IBLIS LAKNAT"
teriakanya membuat semua hadirin yang melayat diam, tidak ada suara. hanya tatapan benci, anehnya, pak Wanto bersikap tenang, ia membiarkan Diah pergi, berlari menuju kamarnya.
14 Hari, bukan waktu yang sebentar.
selama 14 hari itu juga, bapaknya tidak pernah mengijinkan pengajian atau apapun yang berhubungan dengan agama, hal yang tentu menjadi perhatian warga kampung, banyak dari mereka yang mulai curiga dengan ucapan Diah, benarkah iblis itu ada
Sore buta, Diah pergi ke rumah mbah Safi, dan ketika mbah Safi melihat Diah, wajahnya penuh dengan teror.
"Ayo ndok melbu ndok, cepet" (ayo masuk nak masuk, cepat)
ia menyuruh Diah duduk, sementara mbah Safi masuk ke dalam kamar. ia keluar dengan membawa kain putih
di robeknya kain itu, lalu di berikan ke tangan Diah. terjadi keheningan dalam waktu lama sampai Diah bertanya.
"opo iki mbah?" (apa ini mbah?)
"rungokno ndok, rungokno, aku bakal ngasih tau, opo sing terjadi ambek bapakmu kui" Diah bisa melihat bibir mbah Safi gemetar, "kafan"
"iki ngunu kain kafan" (ini itu kain kafan)
jantung Diah seperti mau copot, pantas ia mencium bebauan busuk di kain itu.
"kain kafan sinten niki mbah" (kain kafan siapa ini mbah?)
"Kain kafan'e mbok Sartem" (kain kafanya mbok Sartem)
"Mbah bongkar kuburan mbah Sartem" (Mbah membongkar makamnya mbok Sartem)
"Sek ta lah ndok, rungokno dilek" (sebentar ya nak, dengarkan dulu), "sing garai mbok Sartem mati, iku bapakmu" (yang membuat Mbok Sartem meninggal adalah bapak kamu)
hari itu Diah seperti di sambar petir
"PalaWijah" kata mbah Safi "Makhluk iki lah seng gowo balak nang keluargamu, sak iki, simpenen kain kafan iki nduk, trus rungok'ke pesenku" (PalaWijah, adalah nama makhluk ini, bawa kain kafan ini, simpan di dekat kamu, lalu dengarkan pesanku ini)
"ojok turu nisore jam rolas yo"
(jangan tidur di bawah jam 12 ya)
"Opo iku PalaWijah mbah?" (apa itu PalaWijah)
mbah Safi seperti tidak ingin melanjutkan percakapan ini, ia menenggak kopi hitamnya, lalu mulai bercerita.
"Ceritane, dowo ndok, tapi awakmu kudu eroh" (Ceritanya panjang tapi kamu harus tahu)
"PalaWijah, iku wedus njelmo menungso
(Palawijah adalah kambing yang menjelma manusia)
"biyen, onok wong sing ngelahirno anak ra normal, awak menungso, tapi ndas wedus" (dahulu ada orang yang melahirkan anak tidak normal, badan manusia tapi kepala mirip kambing)
"Ceritone, jabang bayi iku di kubur nang kene, deso-
iki" (kabarnya, anak bayi itu di kubur disini, di desa ini)
"tapi ra onok sing eroh enggon pastine" (tapi tidak ada yang tahu dimana tempat pastinya)
nek jare mbok Sartem, bapakmu sing nemu kuburane (kalau kata mbok Sartem, bapakmulah yang menemukan kuburanya)
Jenenge'e Demit (namanya iblis) paling pinter mbujuki menungso, bapakmu keblobok ambek Demit siji iki" (pintar menip manusia, bapakmu sudah terjerumus sama iblis satu ini)
wes, sak iki muleho, pesenku siji, ojok sampe ilang kain kafan iki"
(sudah, kamu pulang saja, pesanku cuma satu, jangan sampai hilang kain kafan ini)
seperti apa yang di katakan, mbah Safi, Diah tidak pernah lagi tidur di bawah jam 12, ia sengaja mengikat kain itu di pergelangan tanganya seolah-olah itu gelang penjaganya. dan di malam yang entah keberapa, Diah ingat, ada satu kamar di dalam rumahnya yang tidak pernah ia masuki
Malam ini, pak Wanto pergi sedari sore tadi, di luar tengah hujan lebat, hanya ada Diah dan Yuni serta 2 pembantunya.
dengan perasaan bimbang, Diah pergi menuju ke kamar pak Wanto. kamar yang tidak pernah boleh di masuki siapapun.
baru saja ia menutup pintu kamarnya. Diah di kejutkan oleh Yuni.
Yuni menatapnya dengan tatapan datar. sebelum Diah bertanya kenapa Yuni masih terjaga di jam malam seperti ini, tiba-tiba Yuni tertawa cekikikan, berlari meninggalkan Diah dengan wajah kebingungan.
tanpa menghiraukan Yuni, Diah tetap berjalan menuju kamar pak Wanto, tercium aroma wewangian yang biasa pak Wanto gunakan. sangat familiar, namun memuakkan bagi Diah yang sudah lupa bahwa ia punya figur seorang bapak
ketika Diah tepat di depan pntu itu. ia tahu, ia tdk sendirian
pintu yang biasa terkunci rapat malam ini, anehnya, bisa di buka dengan sangat mudah.
maka, Diah melesat masuk. dan hal pertama yang Diah lihat adalah, temboknya di tutup dengan kain hijau zambrud, suasana di kamarnya, membuat Diah merinding. ada rahasia di dalam sini.
tanpa membuang waktu, Diah mengamati setiap detail kamar ini, banyak topeng Anggon dari barong sampai Wurukan, (topeng mitos jawa), banyak keris terpajang di atas meja, lengkap dengan kemenyan yang di bakar di atas bak tanah liat kecil, namun, Diah terfokus menatap satu titik.
ada keranjang bayi, yang di selimuti oleh sewek (kain yang di gunakan oleh ibu jawa) , di atasnya ada payung khusus Mayit, dan ketika sa'Diah mendekatinya, tiba-tiba badanya menjadi berat.
berat sekali, seperti ada yang naik di atas punggungnya.
saat itulah, Diah sudah tidak sanggup lagi untuk mengangkat beban tubuhnya, tiba-tiba, tercium aroma yang sudah lama Diah lupakan, bau lenguh seekor kambing.
maka Diah berbalik, mengamati, sesuatu yang sedaritadi mengikutinya.
terkejut, Diah melihat sosok jangkung dengan bulu hitam lebat, tanganya bengkor tak berjari, matanya merah menyala dengan hidung melesak keluar, di kepalanya, ada tanduk kecil, ia berdiri seperti tengah mengamati Diah, yang membuat Diah mematung ngeri, caranya bergerak seperti-
penari jaipong dengan kepala miring ke kiri dan ke kanan, ketika ia bersiap mencengkeram sa'Diah, pintu terbuka dan pak Wanto berteriak dengan keras.
"Ojok Anakku seng mbarep!!" (jangan anak sulungku) suaranya bergetar marah, dan sa'Diah jatuh pingsan.
sa'Diah terbangun di dalam kamarnya, masih setengah sadar, ia mendengar suara yang entah darimana datangnya. lirih, dan seperti putus asa, sampai Diah sadar, bahwa di hadapanya, berdiri pocong tepat di depan wajahnya.
Pocong itu adalah mbok Sartem.
mbok Sartem lah yang sedari tadi berteriak minta tolong, namun sa'Diah ketakutan setengah mati, melihat langsung 2 makhluk yang wujudnya tidak pernah Diah bayangkan, membuat Diah sampai berpikir lebih baik ia pingsan lagi, dan harapanya terwujud, karena sekarang, -
yang ada di hadapanya adalah bapaknya.
pak Wanto, yang tengah menatap Diah dengan wajah penuh amarah sembari mengangkat sesuatu yang Diah kenal. "sopo sing ngekek'i barang iki gok awakmu?" (siapa yang baru saja memberimu ini?)
Diah menatap takut bapaknya, ini pertama kalinya-
-ia melihat bapaknya semarah itu.
di depan Diah, bapaknya kemudian membakar gelang yang terbuat dari kain kafan mbok Sartem.
namun semenjak hari itu, setiap malam, Diah selalu merasa di awasi, makhluk yang ia lihat di dalam kamar pak Wanto apakah itu yang di maksud oleh mbah Safi.
maka, ia berkeinginan untuk menemui mbah Safi kembali, sampai, Diah baru sadar, di depan pintu kamarnya, Yuni melihatnya
Yuni mendekati Diah yang berbaring di atas ranjangnya. lalu kemudian mengatakan. "mbak ayo maen cublek cublek suweng"
Diah hanya diam, ia tidak tahu harus menjawab apa, permainan ini mana bisa di mainkan hanya oleh 2 orang.
"ora isok ta yun, yo opo carane" (gak bisa lah yun-
memang gimana caranya)
"lapo gak isok?" (kenapa gak bisa?)
"sopo maneh sing maen, nek wong loro ora isok" (siapa lagi yang main, kalau berdua mana bisa?)
"iku" Yuni menunjuk sa'Diah.
"onok Atun karo Rina gok pinggir sampeyan" (itu ada Atun sama Rina di samping mbak)
maka, malam itu, ia menemani Yuni, berpura-pura ikut bermain, yang entah bagaimana caranya, ia merasa Yuni seperti benar-benar merasa ada Atun dan Rina, 2 adiknya yang sudah meninggal terlebih dahulu.
semenjak saat itu, Diah merasa semakin lama, semua semakin aneh.
Jam 1 dinihari nanti akan jadi akhir cerita ini ya.. mohon maaf karena sudah sibuk. Jadi ngaret ceritanya yang harusnya selesai kemarin..
meski kain kafan yang di beri oleh mbah Safi sudah di bakar oleh pak Wanto, namun sa'Diah masih merasa bahwa sesuatu tetap mengawasinya.
di suatu malam, tanpa sengaja, sa'Diah melihat ke halaman belakang rumahnya, tempat dimana, sore tadi, pak Wanto mendirikan sebuah ayunan tua
ia melihat bapaknya. pak Wanto, tampak berdiri sendirian, menyendiri, menatap ayunan di depanya yang tengah bergerak-gerak, tanpa ada yang mendorongnya.
penasaran, sa'Diah mendekat ke jendela.
di lihatnya lebih jeli, apakah matanya tidak salah melihat hal itu.
mengikuti naluri penasaranya, sa'Diah berjalan turun, berharap bisa mendekat, mencari tahu apa yang bapaknya lakukan disana
smpailah ia di dapur rumah. tempat dimana jarak antara dirinya dan pak Wanto tidak begitu jauh, disana, ia mendengarnya. pak Wanto tampak sedang berbincang
yang jadi masalahnya. tidak ada siapapun disana, kecuali pak Wanto, dan ayunan yang bergerak dengan sendirinya. sampai, Diah di kejutkan dengan suara familiar yang ia kenal.
"Atun muleh ya mbak" (Atun pulang ya kak)
kaget. Diah melihat Yuni, sudah berdiri di belakangnya.
"Atun" bingung, Diah mengulanginya.
"nggih mbak. niku, onok ibuk ambek Rina sisan, gok kunu" (iya kak. itu lihat, ada ibuk juga sama Rina disana)
Diah tidak mengerti apa yang terjadi di dalam keluarganya, apakah hanya dirinya yang tidak bisa melihatnya. sampai, ia mengingatnya
"Yun" kata Diah
"nggih mbak" (iya kak)
"koen tau ndelok gak menungso sing raine koyok wedus, duwur, wulune ireng, nang sirah'e onok sungu" (kamu pernah lihat gak ada manusia, wajahnya menyerupai kambing, tinggi, berbulu hitam, di kepalanya ada sepasang tanduk)
Yuni mengangguk
"Adik" ucap Yuni, seraya menunjuk Diah.
Diam terdiam, mencoba mencerna maksud perkataan Yuni "Adik?" sampai Diah baru sadar, Yuni tidak menunjuk dirinya, namun, ia menunjuk sesuatu di belakangnya.
Sosok yang Diah bicarakan, rupanya sedari tadi berdiri di belakang Diah.
yang ia ingat kemudian, Diah merasa sentakan kuat, mencengkram lehernya, menghantamkanya ke lantai. suara terakhir yang ia dengar adalah suara pak Wanto. berteriak marah dan mengatakan.
"ojok anak Mbarepku!! ojok" (jangan anak pertamaku, jangan).
lalu, semuanya menjadi gelap.
Andi, usianya beum genap 13 tahun, saat kejadian ganjil itu terjadi di kampungnya, keseharianya hanya mendengar desas-desus yang semuanya sama, membicarakan sebuah keluarga.
keluarga yang konon, bersekutu dengan Iblis. hal itu terjadi, saat berita kematian Yuni, sekali lagi,-
menggegerkan kampungnya.
Warga mulai resah, bahkan sebegitu resahnya, setiap malam, di balai desa, bapak-bapak atau kepala keluarga berkumpul guna mencari jalan, dimana sempat tersebar bahwa, Iblis itu konon sering menampakkan diri dan menyebar terror.
warga memanggilnya dengan "PalahWija"
semua tahu apa itu "palahWija" dan peristiwa ini bukan pertama kali terjadi di kampung ini.
Palahwija atau yang berarti Rupa kambing, biasanya hidup di sebuah keluarga, namun, kehadiranya biasanya mendatangkan, kekayaan, kemasyuran, hanya saja, imbal balik dari semua itu adalah
nyawa anak-anak keluarga yang memelihara Palahwija.
biasanya di mulai dengan anak termudanya hingga sampai anak tertua di keluarga tersebut.
yang jadi masalah adalah, setelah anak-anaknya habis, palahWija tidak berhenti untuk mencari tumbal, yang ia incar selanjutnya adalah, anak termuda dari tetangga si pemelihara.
hal ini, membuat warga mulai membicarakan ini dengan serius.
sebelumnya, tidak ada yang percaya dengan berita bahwa pak Wanto memelihara Palahwija, namun, serentetan kejadian yang terjadi, dimana anak-anak pak Wanto yang meninggal secara tidak wajar, membuat warga mulai yakin.
Andi, yang sebegitu tertarik dengan ini, mencari tahu, kematian Yuni, dimana sebelumnya ia sampai koma selama 7 hari.
kejadianya sendiri masih simpang siur, ada yang mengatakan Yuni terjatuh dari anak tangga, ada yang mengatakan Yuni terjatuh di kamar mandi-
hingga saraf di kepalanya rusak, namun, satu hal yang Andi tahu adalah. Yuni tidak pernah memejamkan matanya, bahkan ketika ia meninggal, mayat Yuni, tertidur di liang lahat dengan mata masih terbuka.
satu perubahan yang Andi sangat rasakan adalah, perubahan kepada kakanya, Diah.
Diah yang terkenal ramah dan supel kepada tetangga, lebih banyak murung dan bahkan batang hidungnya tidak lagi terlihat berjalan ke kampung-kampung, kabar terakhir mengatakan, Diah tau sesuatu.
Depresi adalah gambaran yang tepat untuk menjelaskan kondisi Diah, setidaknya itu yang Andi dengar dari percakapan ibuk dan bapaknya.
di tengah masalah yang entah tiada berujung ini, Andi mendengar sebuah kabar mengejutkan. apalagi bila kabar tentang meninggalnya seseorang.
Diah Muninggar, di temukan tewas dengan kondisi kendad (tergantung) di dalam kamar di rumah besar miliknya.
sontak berita itu tidak hanya menghebohkan warga kampung, namun, membuat resah, bahwa memang ada yang salah dengan keluarga pak Wanto.
mengerikanya kisah ini, adalah
pak Wanto sama sekali tidak menunjukkan ekspresi sedih. bahkan, ada yang pernah melihat pak Wanto, tampak tersenyum, melihat jasad anak yang seharusnya menjadi satu-satunya, yang ia jaga, namun berakhir dengan kematian yang tragis.
4 kematian. yang kesemuanya menyimpan teka-teki. warga kampung, sehingga keyakinan warga untuk mengusir pak Wanto tidak terbendung.
hanya saja. Warga masih di seliputi rasa ngeri, karena kabarnya, pak Wanto menunjukkan gelagat tidak takut sama sekali dengan sikap warga yang-
menolak keras-keras untuk hidup berdampingan dengan manusia yang menyekutukan tuhan.
ada kejadian aneh yang mulai bermunculan, salah satunya adalah, konon, setiap jam menunjukkan pukul dua belas malam, terkadang, warga melihat seseorang wanita melintas di jalanan kampung.
sosoknya menyerupai sosok yang familiar,
"Sa'Diah" itulah sosok yang sering di lihat warga
yang menakutkan dari sosok yang menyerupai sa'Diah adalah, cara berjalanya yang seperti cara berjalan orang yang kewalahan menahan kepalanya, seolah kepalanya akan jatuh sewaktu-waktu, dan setiap di dekati warga, sosok ini akan menghilang dan meninggalkan suara menangis,
setiap hari, muncul cerita-cerita baru yang mengaku bahwa ia melihat sa'Diah berjalan di depan rumahnya, terkadang, sa'Diah berhenti di depan rumah, seperti memperingatkan.
puncaknya adalah, di sebuah rumah, dimana baru saja lahir bayi kecil, sa'Diah setiap malam, datang kesana
sosok sa'Diah akan mengetuk pintu rumahnya, dan bila di lihat dari jendela, wajah sa'Diah akan terlihat di depan rumah, berdiri sendirian di tengah kegelapan malam.
namun, ketika pintu di buka, sosok itu lenyap entah kemana. hal ini, membuat warga yang bersangkutan ketakutan
mbah Safi lah yang pertama memperingatkan agar senantiasa menjaga bayi kecil itu. karena kemunculan sa'Diah bisa menjadi sebuah pertanda, pertanda yang kemungkinan sangat buruk.
di malam yang entah keberapa, ibu dari bayi kecil itu tidak bisa tidur akibat bayi kecil di sampingnya terus terjaga dan menangis terus menerus, si bapak sedang keluar dan tidak ada di rumah.
bayi itu, menangis seolah ada sesuatu yang menganggunya.
sampai, terdengar ketukan
ketukan itu membuat si ibu kebingungan, tidaklah mungkin bertamu di rumah orang tengah malam seperti ini, awalnya, ia mengabaikan ketukan itu, namun, semakin lama, ketukan itu semakin keras, di liputi rasa takut, si ibu melangkah ke pintu.
meninggalkan jabang bayi di dalam kamar
ketika ia memeriksa siapa yang bertamu malam-malam begini, wajahnya di liputi shock luar biasa, karena sesiapa yang bertamu adalah seseorang yang ia kenal.
sa'Diah atau siapapun yang menyerupai sa'Diah menatapnya dengan tatapan mendelik, kemudian menunjuk sesuatu, sebuah arah
arah yang di tunjuk sa'Diah adalah kamar tempat si ibuk meninggalkan bayinya, dengan wajah khawatir dan tergopoh-gopoh, si ibuk kembali ke kamar, namun yang ia dapati adalah sosok makhluk hitam besar, tengah mencengkram jabang bayi dengan tanganya yang di penuhi bulu hitam
si ibuk berteriak keras, membuat makhluk hitam besar itu lenyap, warga pun berkumpul, suasana saat itu ramai, warga berbondong-bondong mencari tahu apa yang terjadi, namun, semuanya terjawab saat melihat, ibu dari bayi yang baru lahir itu tengah menangis histeris, di depanya-
bayi kecilnya, di temukan meninggal dengan kondisi kulit dingin.
Warga yang melihat itu, tak habis pikir, sampai terdengar seseorang berseru. "Wanto sing mateni bayi iki" (Wantolah yang membunuh bayi ini)
teriakan itu di sahut oleh warga lain, membuat gaduh suasana saat itu.
tanpa membuang waktu, Warga yang marah, bergerusuk menuju rumah pak Wanto, bersenjatakan sajam, dan obor, Warga berteriak riuh, meneriakkan nyawa harus di tebus dengan nyawa.
sebegitu ramai saat itu, Andi yang menyaksikan kejadian itu, sampai merinding melihat wajah marah warga
di depan rumah pak Wanto, warga menjebol pagar besi sembari berteriak-teriak, meminta pak Wanto keluar.
penjaga rumah pak Wanto sampai menyingkir ngeri melihat banyaknya Warga yang datang entah dengan tujuan apa. Andi ingat betul, pak Wanto keluar dengan tampang biasa saja.
yang pertama pak Wanto lakukan adalah, bertanya apa yang terjadi dan kenapa warga bertamu ke rumahnya malam-malam seperti ini.
saat itulah, seorang dari warga menceritakan apa yang terjadi, namun pak Wanto tidak membantah sedikitpun ucapan warga itu, sebaliknya, pak Wanto-
malah menantang warga, bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan.
ucapan itu membuat warga semakin gusar. teriakan kemarahan terdengar disana-sini, Andi menyaksikan kejadian itu, dimana pak Wanto di sabit oleh sebilah parang tepat di bahunya oleh seorang warga.
Anehnya, parang yang seharusnya bisa mengoyak seonggok daging itu tampak tak berkutik di depan pak Wanto, malah warga yang menyabitkan parang itu, berteriak-teriak seolah sesuatu membuat lenganya menjadi bengkok.
ngeri. suasana saat itu.
Warga pun semakin beringas menghujami-
pak Wanto dengan senjata yang mereka bawa.
namun semuanya sia-sia. tidak ada satu senjata'pun yang bisa melukai pak Wanto.
pak Wanto semakin angkuh dan mencibir warga bahwa tidak satupun orang yang dapat melukainya dengan apa yang mereka bawa, bahkan sebegitu menantangnya pak Wanto sampai menceritakan bahwa ia adalah orang sakti di kampung ini.
namun, keadaan berbalik saat seseorang muncul dan berteriak, "Melbuo gok omahe Wanto, Bakar omahe bakar kamare" (masuk ke rumahnya, bakar rumahnya, bakar kamarnya)
Warga yang mendengar itu, membabi buta melesat masuk dan membakar semuanya.
disini, wajah pak Wanto yang awalnya terlihat jumawa, tiba-tiba mulai panik, ia melesat ikut masuk ke dalam rumah, namun Warga sudah membabi buta membakar rumah itu.
Andi menyaksikan semua itu, di usianya yg saat itu menyaksikan hal seperti ini membuatnya tidak dapat berkomentar banyak
kobaran api merah menyala mulai terlihat disana-sini, disitulah, Andi mendengar, suara-pak Wanto berteriak-teriak, saat Warga menyeretnya, lalu mengguyurnya-
dengan minyak tanah.
Kobaran Api membakar pak Wanto.
teriakan memilukan itu di saksikan oleh warga. yang ia ingat kemudian adalah seseorang menariknya dari tempat itu, membawanya ke tempat jauh, namun, satu hal yang tidak dapat ia lupakan.
teriakan pak Wanto yang terngiang2
kejadian ini benar-benar menghebohkan. kasus pembakaran ini sampai di liput media lokal, Andi inget, sebegitu hebohnya sampai menjadi Headline, hanya saja, Headline yang di tulis di beri judul berbeda. "Dukun cabul di bakar warga" terlepas dari itu, kejadian ini-
menjadi salah satu kejadian paling mengerikan di desa itu.
seperti awal bagaimana cerita ini saya tulis, saya sampai repot-repot buat datang dan menyaksikan saksi bisu kejadian ini, yaitu, sisa Rumah yang kini menjadi rumah kosong tak bertuan.
saya gak bisa komentar banyak setiap kali melihat rumah itu. namun satu hal yang saya gak akan lupain
di atas rumah itu. Warga bercerita kadang, ia masih melihat sosok wanita yang tengah mengintip di kamar lantai 2 yang di yakini adalah sosok sa'Diah, namun yang masih Andi ceritakan dari peninggalan rumah ini adalah, PalaWijah yang dulu kabarnya, masih ada di atas tanah ini
tanah yang tidak akan ada satupun orang waras untuk tinggal di dalamnya.
well, sampai sini saya akhiri cerita ini.
serius, dulu saya nger-ngeri sedap setiap kali inget waktu Andi ceritakan cerita ini. dan untuk plot storynya, Andi bercerita dengan gaya sepotong-sepotong namun saya buat ulang dengan penyusunan cerita yang lebih terurut agar kalian-
bisa tahu kondisi kejadianya dari gaya bahasa saya. meski begitu, saya selipkan beberapa kejadian dengan mengambil intisari kengerian dan ketakutan yang Andi rasakan dari semua keluarga pak Wanto.
untuk nama tokoh sendiri, itu bukan nama aslinya, karena saya gak mau menggunakan-
nama asli mereka, meski cerita ini di ambil dari kisah nyata mereka.
sampai saat ini. rumahnya masih berdiri meski sudah sangat mengenaskan, di dekat rumahnya, sendiri sudah di bangun wahana wisata kolam renang jadi wilayah itu lebih ramai.
meski begitu, suasana mencekam rumah-
ini masih terasa sangat kental.
jadi, malam ini, saya akhiri cerita ini. pesan saya mungkin satu, jangan pernah menyekutukan tuhan, karena sesungguhnya bujuk rayu setan atau iblis nyata adanya. selamat malam, dan selamat melanjutkan aktifitas, saya simple_Man pamit.
sampai jumpa di thread saya selanjutnya.
Wassalam.
0 Komentar